Selasa, 09 April 2019

Berikut Fakta Sebenarnya Dari Kejadian Pengeroyokan Terhadap Siswi 14 Tahun DiPontianak oleh 12 Siswi


PINOTOGELS- Tagar #JusticeForAudrey mendadak ramai di media sosial, ternyata terjadi sebuah pristiwa yang sungguh miris terjadi pada sorang gadis smp di Pontianak yang di keroyok oleh 12 Siswa sma masalahnya pun tergolong sepele karena masalah cowok.

Lalu Siapa Audrey? Dan bagaimana kisahnya?seorang siswi SMP berinisial AU (Audrey) menjadi korban pengeroyokan oleh 12 siswa SMA di Pontianak.

Akibatnya, siswi SMP yang baru berusia 14 tahun itu kini tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit akibat luka yang dideritanya.

Kasus pengeroyokan siswi SMP itu juga telah ditangani pihak kepolisian setempat dan terus dikembangkan dalam proses penyelidikannya.


Nah berikut Kronologinya.

Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar menggelar konferensi pers terkait persoalan ini.

PPAD selaku lembaga yang bergerak dibidang perlindungan anak akan memberikan pendampingan baik pada korban maupun pada pelaku.

Wakil Ketua KPPAD, Tumbur Manalu yang hadir saat konferensi pers menceritakan kronologi kejadian penganiayaan tersebut.

Tumbur Manalu menjelaskan, kejadian pengeroyokan terhadap korban yang merupakan siswi SMP tersebut dua pekan lalu.

“Kejadian dua pekan lalu, Jumat (29/3/2019). Namun baru dilaporkan pada orangtuanya, hari Jumat (5/4/2019) ada pengaduan ke Polsek Pontianak Selatan.”

“Kemudian kita dari KPAD langsung menerima pengaduan,” ucap Manalu saat memberikan keterangan di Kantor KPPAD, Senin (8/4/2019).

Ia menjelaskan korban tidak melapor karena mendapat ancaman dari pelaku, pelaku mengancam akan berbuat lebih kejam lagi apabila korban melaporkan pada orangtua.

“Korban merasa terintimiddasi sehingga tak berani melapor.”

“Namun setelah dilaporkan pada pihak kepolisian, pada hari itu langsung ada proses mediasi di Polsek Pontianak Selatan, proses sidiknya terhadap pelaku masih berjalan,” tambahnya.

Tumbur Manalu menceritakan kronologi awalnya terjadinya pengeroyokan secara brutal dari 12 siswa SMA terhadap siswi SMP tersebut dari penjemputan yang dilakukan para pelaku terhadap korban di rumahnya.

“Korban sebenarnya berada di rumah, kemudian dijemput terduga pelaku dari 12 orang itu.”

“Sebetulnya aktor utama tiga orang dan sisanya membantu,” ucap Manalu.

Korban dijemput dengan alasan ada yang mau disampaikan dan diomongkan.

Jadi dengan seperti itu, korban bersedia ikut bersama pelaku dan dibawa ke Jalan Sulawesi.

Pada saat penjemputan korban tidak menyadari, dirinya akan dianiaya. Sebab dia dijemput dengan alasan mau ngobrol.

“Ketika dibawa ke Jalan Sulawesi korban diinterogasi dan dianiaya secara brutal oleh pelaku utama tiga orang dan rekannya yang membantu ada 9 orang. Sehingga total ada 12 orang,” katanya.



Korban dianiaya di dua lokasi, selain di Jalan Sulawesi, korban juga dianiaya di Taman Akcaya.

Sebetulnya, berdasarkan hasil yang didapatkan KPPAD, target pelaku bukanlah korban yang saat ini. Tapi kakak sepupu korban.

Informasi yang dihimpun, pengeroyokan ini bermotif asmara. Korban AU memiliki sepupu berinisial PP. Mantan pacar PP pacaran dengan DE. Namun PP masih sering berhubungan dengan mantannya yang kini sudah menjadi pacar DE.

Hal itu membuat DE emosi. Masalah ini pun berlanjut ke media sosial. Puncaknya, DE dan temannya mengeroyok AU, sepupu PP.


Peristiwa yang terjadi pada 29 Maret 2019 itu menyebabkan korban berinisial AU (14) trauma dan depresi berat. Korban saat ini masih menjalani perawatan di rumah sakit.

Korban dikeroyok geng cewek SMA di Jalan Sulawesi. Kepala korban dipukul dan dibenturkan ke aspal. Bahkan, perut korban juga diinjak hingga muntah-muntah.

Tak hanya itu, pelaku juga dikabarkan merusak alat vital korban. Pelaku mencolok alat vital korban dengan jari agar korban tidak perawan lagi.



Arist Merdeka mengatakan, penganiyaan, perundungan, persekusi dan kekerasan seksual yang dikakukan 12 geng siswi SMA ini tidak bisa ditoleransi oleh akal sehat manusia.

Dikatakan Arist, mengingat pelaku masih dalam status usia anak dan dalam perspektif perlindungan anak masih memerlukan perlindungan, maka Komnas PA mendorong penegak hukum yang menangani perkara ini menggunakan pendekatan keadilan restoratif dalam proses penyelesaiannya.

Arist menambahkan bahwa dengan pendekatan keadilan restoratif tersebut selain meminta pertangungjawaban hukum para pelaku atas tindakan pidananya, pihak kepolisian Polresra Pontianak juga bisa menggunakan pendekatan “diversi” terhadap pelaku.

Pelaku bisa diberikan sanksi tindakan seperti saksi sosial guna memulihkan harkat dan harga diri korban yang telah dilecehkan dan berdampak efek jera.

“Misalnya dengan cara para pelaku meminta maaf secara terbuka kepada korban di hadapan orangtua dan penegak hukum atau minta maaf dengan mencium kaki korban,” kata Arist kepada wartawan di bilangan Pasar Rebo Jakarta Timur Rabu (10/4).

Menurut Arist, peristiwa ini memunculkan pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh semua orangtua, masyarakat, dunia pendidikan dan pemerintah, termasuk alim ulama. Ada apa dengan keluarga dan lingkungan?

Menurutnya, munculnya perilaku dan perbuatan sadis ini tidak berdiri sendiri. Bisa saja karena terinpirasi dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya atau terinpirasi tayangan-tayangan yang tidak edukatif. Sebab dunia anak adalah meniru yang ada disekitarnya.

Menurut Arist, orang tua korban baru melaporkan perkara ini setelah 2 minggu peristiwa ini terjadi karena korban terus menerus diancam oleh pelaku.

Namun karena berdampak pada menurunnya kesehatan korban, dan sudah tidak mampu menahan sakit, akhirnya korban menceritakan kejadian itu kepada ibuya.



Selain dianiaya secara bergerombol, yang cukup mengerikan adalah kemaluan korban dirusak oleh salah satu pelaku dengan memasukkan jari pada vagina korban.

Akibatnya AU mengalami luka fisik, psikologis yang cukup serius dan harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

Namun dugaan pengrusakan alat viral siswi SMP ditepis oleh Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Kompol Husni Ramli.

Husni mengatakan, sejauh ini dari keterangan dari korban maupun orangtua korban, tidak ada yang menyebutkan bahwa ada penganiayaan pada alat vital korban.

“Tidak ada keterangan dari korban terkait adanya penganiayaan di alat vital,” kata Husni.

KPPAD berharap persoalan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan, karena dengan adanya proses hukum akan memberikan dampak kemudian hari pada mereka yang masih anak dibawah umur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar